Peperangan era Napoleon adalah serangkaian peperangan yang terjadi selama Napoleon Bonaparte memerintah Perancis (1799–1815).
Perang ini terjadi (khususnya) di benua Eropa, tetapi juga dibeberapa tempat di benua lainnya dan merupakan kelanjutan dari perang yang dipicu oleh Revolusi Perancis pada tahun 1789.
Perang ini menyebabkan perubahan besar pada sistem militer di Eropa terutama artileri dan organisasi militer, dan juga pada masa inilah pertama kalinya diadakan wajib militer secara resmi sehingga jumlah tentara berlipat ganda.
Kekuatan Perancis dengan cepat berkembang, menaklukkan sebagian besar
Eropa dan juga cepat ambruknya setelah mengalami kekalahan telak dari Rusia pada tahun 1812. Setelah kekalahan ini Napoleon menyerah total, sehingga dinasti Bourbon kembali berkuasa di Perancis. Sementara itu wilayah kekaisaran Spanyol
satu persatu daerah jajahannya mulai lepas akibat invasi Perancis, yang
mengakibatkan lemahnya Spanyol sehingga memicu timbulnya revolusi di Amerika Latin.
Tidak ada kesepakatan para sejarawan
untuk memastikan kapan Perang Revolusi Perancis berakhir dan peperangan
era Napoleon dimulai. Beberapa tanggal yang diajukan antara lain :
- Tanggal 9 November 1799, ketika Napoleon merebut kekuasaan di Perancis
- Tanggal 18 Mei 1803, ketika Inggris dan Perancis melanggar gencatan senjata yang mereka sepakati sebelumnya
- Tanggal 2 Desember 1804, ketika Napoleon mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar.
Peperangan era Napoleon berakhir ketika ia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Waterloo
(18 Juni 1815) dan disepakatinya pakta Paris yang kedua. Beberapa
sumber sejarah (terutama di Inggris) menamakan peperangan dari tahun
1792 sampai 1815 ini dengan nama Perang Perancis Raya, atau sebagai babak penutup dari Perang 200 Tahun antara Inggris dan Perancis[8][9][10] yang dimulai sejak tahun 1689 sampai dengan tahun 1815.
Latar belakang, 1789–1802
Revolusi Perancis mengancam kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa,
dan menjadi persoalan yang lebih serius dengan ditangkapnya raja Louis
XVI pada tahun 1792 dan pelaksanaan hukuman mati terhadapnya di bulan Januari tahun 1793. Usaha pertama untuk menghancurkan Republik Perancis ini dimulai pada tahun 1792 ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol, dan Kerajaan Britania Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang Perancis yang baru, termasuk wajib militer secara serentak (levée en masse), pembaharuan sistem militer, dan perang secara total, memberikan kontribusi bagi kemenangan Perancis atas koalisi pertama. Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh Napoleon menerima syarat-syarat dalam perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-satunya kerajaan yang tersisa dari koalisi pertama yang memerangi Perancis sampai dengan tahun 1797.
Koalisi kedua dibentuk pada tahun 1798,yang terdiri atas beberapa kerajaan : Austria, Britania Raya, Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Kepausan, Portugal, dan Rusia. Napoleon Bonaparte, sang arsitek utama kemenangan Perancispada tahun lalu atas koalisi pertama, melancarkan aksi militer ke Mesir (beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-Francois Champollion).
Napoleon kembali ke Perancis pada tanggal 23 Agustus 1799. Kemudian ia mengambil alih pemerintahan pada tanggal 9 November 1799 dalam sebuah kudeta bernama18 Brumaire. Napoleon menata ulang sistem militer dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi militer di sekitar Rhine dan Italia. Di semua pertempuran, Perancis lebih unggul. Di Italia, Napoleon memenangkan pertempuran dengan Austria dalam Marengo pada tahun 1800. Tetapi pertempuran yang menentukan terjadi di Rhein, wilayah Hohenlinden pada tahun 1800. Dengan kalahnya Austria ini, kekuatan koalisi kedua hancur. Akan tetapi Britania Raya tetap kuat dan memberi pengaruh yang besar kepada negara-negara lainnya agar dapat mengalahkan Perancis.Napoleon menyadari hal ini, tanpa kekalahan Inggris atau perjanjian damai dengannya maka ia tidak akan pernah mencapai perdamaian secara penuh di benua Eropa.
Perang Inggris dan Perancis, 1803–1814
Tidak seperti anggota koalisi lainnya, Inggris tetap berperang secara
kecil-kecilan dengan Perancis. Dengan perlindungan dari armada lautnya
yang sangat kuat (seperti yang diucapkan Admiral Jervis "Saya tidak
menjamin bahwa Perancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya
menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut"), Inggris dapat
tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan didarat secara global selama
lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak
di Spanyol melawan Perancis dalam perang Peninsular pada tahun 1808-1814.
Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan, serta dibantu dengan
pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini
sukses mengganggu pasukan Perancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada
tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo.
Sebenarnya perjanjian damai (Treaty of Amiens) antara Inggris dan Perancis telah disepakati pada tanggal 25 Maret 1802.
Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua
belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Perancis ikut
andil dalam kericuhan sipil di Swiss (Stecklikrieg) dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki Malta.
Napoleon juga berusaha mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal
ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi
bencana. Komandan Perancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir
sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan
juga karena serangan musuh.
Napoleon menjadi Kaisar Perancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember.
Selanjutnya Napoleon berencana untuk menginvasi Inggris, dengan
menempatkan 180 ribu tentaranya disekitar kota Boulogne. Tetapi dia
menyadari bahwa untuk memperoleh keberhasilan dalam rencana invasinya
ini dia butuh angkatan laut yang kuat atau setidaknya mengalihkan
perhatian angkatan laut Inggris dari selat Inggris. Disusunlah rencana
yang kompleks untuk mengalihkan perhatian Inggris dengan menyerang
posisi mereka di India barat, tetapi mengalami kegagalan ketika armada admiral Villeneuve kembali dari aksinya di tanjung Finisterre pada tanggal 22 Juli 1805. Angkatan laut Inggris memblokade Villeneuve di Cádiz sampai dia meninggalkannya pergi menuju Napoli pada tanggal 19 Oktober , tetapi komandan skuadron Inggris, Lord Nelson (Horatio Nelson) mengejarnya dan berhasil menghancurkan armada ini pada pertempuran Trafalgar tanggal 21 Oktober, yang juga menjemput ajalnya akibat tembakan sniper
Perancis (saat itulah disebut-sebut sebagai awal mula adanya penembak
jitu yang membidik komandan regu, dan orang-orang penting sebagai
sasarannya).
Setelah kekalahan ini, Napoleon tidak pernah lagi mempunyai kemampuan
untuk menantang Inggris di laut, bahkan setelah itu semua rencana untuk
menginvasi Inggris dibatalkan, dan mengalihkan perhatiannya lagi pada
musuh di daratan. Pasukan Perancis meninggalkan Boulogne dan bergerak
menuju Austria.
Koalisi ketiga, 1805
Napoleon berencana menyerang Inggris[11][12][13], dan menyusun 180.000 tentara di Boulogne. Namun, untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut - atau paling tidak dapat memukul mundur Britania dari Selat Inggris. Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan mengganggu jajahan mereka di India Barat gagal ketika armada Perancis-Spanyol dibawah Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran Cape Finisterre pada 22 Juli 1805. Angkatan Laut Kerajaan memblokade Villeneuve di Cádiz sampai ia pergi menuju Naples pada 19 Oktober; skuadron Britania menangkap dan menaklukan armadanya dalam Pertempuran Trafalgar tanggal 21 Oktober (komandan Britania, Lord Nelson,
tewas dalam pertempuran). Napoleon tidak akan pernah mendapatkan
kesempatan untuk menantang Britania di laut. Napoleon membatalkan semua
rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania, dan membalikan
perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa sekali lagi. Tentara Perancis
meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria.
Pada bulan April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan
dengan tujuan mengusir Perancis dari Belanda dan Swiss. Austria ikut
serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan wilayah Genoa dan penobatan Napoleon sebagai Raja Italia pada tanggal 17 Maret 1805.
Austria memulai peperangan dengan menginvasi Bayern dengan bala tentaranya yang berjumlah 70 ribu jiwa dibawah pimpinan Karl Mack von Leiberich. Dengan segera tentara Perancis keluar dari Boulogne pada akhir Juli 1805 untuk menghadapinya. Keduanya bertemu di Ulm (25 September – 20 Oktober). Napoleon mengepung tentara Mack memaksanya menyerah. Dengan dikalahkannya tentara Austria diutara pegunungan Alpen
(tentara lainnya dibawah pimpinan Archduke Charles berputar balik
sehingga bertemu tentara Perancis lainnya pimpinan marsekal André
Masséna di Italia), Napoleon menduduki Wina.
Jauh di belakang garis supply-nya, ia berhadapan dengan bala tentara
Austria-Rusia yang lebih besar dibawah komandan Mikhail Kutuzov, juga
kaisar Alexander dari Russia turut serta. Pada tanggal 2 Desember, Napoleon menyerbu gabungan tentara dua negara ini yang berada di Moravia, Austerlitz
(inilah kemenangan terbesar Napoleon). Napoleon hanya kehilangan 7 ribu
tentaranya, sementara kerugian tentara gabungan sekitar 25 ribu jiwa.
Austria menandatangani kesepakatan Pressburg pada tanggal 26 Desember 1805 dan keluar dari koalisi. Perjanjian ini meminta Austria menyerahkan Venesia kepada Kekaisaran Perancis yang miliputi Italia dan Tyrol sampai dengan Bayern.
Dengan mundurnya Austria dari perang ini, tentara Napoleon mencatat
kemenangan terus menerus di daratan, akan tetapi kekuatan penuh tentara
Rusia belumlah ikut serta saat itu.
Koalisi keempat, 1806–1807
Koalisi keempat terbentuk beberapa bulan setelah runtuhnya koalisi
ketiga dan terdiri dari Prusia, Rusia, Saxon, Swedia, dan Inggris. Pada
bulan Juli 1806, Napoleon membentuk Konfederasi Rhein untuk menyatukan negara-negara kecil di Jerman.
Akibat terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman, dan atas desakan Napoleon, Kaisar Franz II dari Austria menyatakan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpinnya pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung hampir selama 850 tahun.
Karena tidak bisa menerima hal ini, Friedrich Wilhelm III
dari Prusia, yang merupakan anggota imperium, pada bulan yang sama
membuat keputusan yang berani dengan menyatakan perang secara terpisah
melawan Perancis dan negara-negara koalisi. Di bulan September, Napoleon
menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein. Napoleon
sendirilah yang mengalahkan tentara Prusia di Jena pada tanggal 14 Oktober 1806, dan Marsekal Davout mengalahkan lainnya di Auerstädt
pada hari yang sama. Sekitar 160 ribu tentara Perancis (jumlah yang
bertambah terus seiring dengan kemenangan-kemenangan yang diraih
Napoleon) menyerang Prusia dengan strategi yang jitu disertai pergerakan
yang cepat, sehingga berhasil menghancurkan kekuatan militer yang lebih
besar dan kuat yaitu sekitar seperempat juta tentara Prusia; dengan
korban jiwa 25 ribu orang, menahan sekitar 150 ribu orang, menyita 4
ribu artileri, serta lebih dari 100 ribu musket di Berlin.
Sebenarnya Napoleon hanya melawan satu detasemen tentara Prusia saja
di Jena. Di Auerstädt-lah pertempuran besar terjadi, melibatkan satu
korps tentara Perancis mengalahkan tentara Prusia yang berjumlah sangat
besar. Napoleon memasuki Berlin pada tanggal 27 Oktober 1806. Dia mengunjungi makam Friedrich yang Agung dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk melepas topi mereka untuk memberi penghormatan seraya berucap
“ | Jika Friedrich yang Agung masih hidup, tentulah kita tidak akan sanggup berada di sini sekarang | ” |
Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19
hari saja untuk menyerang tentara Prusia di Jena dan Auerstädt,
mengalahkannya, dan akhirnya menduduki Berlin. Hal ini sangat fantastis
dan brilian, karena sebaliknya Prusia yang sudah bertempur selama 3
tahun sejak keiikutsertaan dalam koalisi pertama hanya sedikit saja
memperoleh keberhasilan.
Selama konflik ini tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia
dan Prusia dengan harapan mereka mendapat aliansi politis melawan
Napoleon dan Perancis, akan tetapi hal ini tidak berhasil karena bajak
laut di sekitar Pantai Barbari menghadang dan merampas bantuan tersebut.
Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini, adalah dipaksanya
Rusia keluar dari Polandia oleh Perancis dan didirikan negara baru
bernama Kadipaten Warsawa.
Kemudian Napoleon beralih ke utara untuk berhadapan dengan sisa-sisa
tentara Rusia, dan berusaha untuk menduduki ibukota sementara Prusia, Koenigsberg. Dengan taktik berpindah di Pertempuran Eylau (7 Februari – 8 Februari 1807), Perancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Lalu Napoleon mengepung mereka di Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa mengadakan perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807). Pada bulan September, Marsekal Brune secara menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia yang kalah untuk mundur bersama peralatan perang mereka.
Koalisi kelima, 1809
Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Perancis di daratan. Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-sekutu Napoleon. Tercatat sejak koalisi kelima terbentuk, angkatan laut kerajaan Inggris mencapai kesuksesan di daerah koloni Perancis dan memperoleh kemenangan yang besar melawan Denmark di Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807).
Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan
pergerakan militer terbatas. Seperti yang terjadi pada ekspedisi
Walcheren pada tahun 1809, yang melibatkan angkatan darat Inggris dibantu oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam tekanan tentara Perancis.
Ekpedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani
oleh John Pitt (pangeran kedua dari Chatham) gagal mencapai target yaitu
pangkalan angkatan laut Perancis di Antwerpen.
Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di jazirah Iberia (Al-Andalus),
masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut
yang mendominasi laut setelah sukses menghancurkan hampir seluruh
kemampuan angkatan laut Perancis dan sekutunya dan juga memblokade laut
di sekitar pangkalan-pangkalan milik Perancis yang masih dipertahankan dengan kuat.
Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh
para gerilyawan. Umumnya angkatan laut membantu angkatan darat untuk
menghancurkan kapal-kapal Perancis,
mengganggu pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer
disekitar pantai. Dan sering juga angkatan laut datang menolong dengan
menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi militer yang
dilancarkan bermil-mil jauhnya dari pantai.
Kapal-kapal milik angkatan laut Inggris bahkan membantu dengan
gempuran artileri dari moncong-moncong meriam mereka jika tentara
Perancis yang bertempur tersesat hingga dekat dengan garis pantai.
Tetapi bagaimanapun juga, kualitas dan kemampuan dari angkatan darat-lah
yang sangat berpengaruh dari sukses tidaknya suatu operasi militer.
Sebagai contoh, ketika taktik ini dilancarkan di Spanyol, kadangkala angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya kualitas dan kemampuan tentaranya.
Peperangan ini juga merembet ke perang ekonomi antara sistem
kontinental yang diterapkan oleh Perancis menghadapi blokade laut oleh
Inggris disetiap wilayah kekuasaan Perancis. Kedua belah pihak selalu
membuat konflik baru agar sistem mereka bisa dilaksanakan. Inggris
berperang dengan Amerika antara tahun 1812-1815, sementara Perancis ikut serta dalam perang di semenanjung eropa selama tahun 1808-1814. Konflik di andalusia dimulai ketika Portugal
melanjutkan perdagangan dengan Inggris meskipun ada larangan dari pihak
Perancis. Ketika Spanyol mengalami kegagalan untuk mempertahankan
aliansinya dengan Perancis, dengan segera tentara perancis menyerang dan
menduduki ibukota madrid.
Austria yang sebelumnya menjadi sekutu Perancis, mengambil kesempatan
untuk mengembalikan wilayah mereka di jerman yang pernah dikuasainya
sebelum mengalami kekalahan dalam perang di Austerlitz. Mereka
memperoleh beberapa kemenangan atas tentara marsekal Davout yang memang
terlalu sedikit dalam menjaga seluruh front timur. Napoleon hanya
menempatkan sekitar 170.000 tentaranya untuk menjaga seluruh front timur
ini. (bandingkan dengan tahun 1790-an, ada sekitar 800.000 tentara yang menjaga front timur ini bahkan lebih pendek jaraknya saat itu).
Napoleon sangat gembira dengan keberhasilan pasukannya merebut Spanyol dan menduduki Madrid dengan mudah, dan memaksa mundur sejumlah besar tentara Inggris dari Andalusia (Pertempuran Corunna, 16 Januari 1809).
Akan tetapi serangan yang dilancarkan Austria mencegah Napoleon
menyelesaikan pengusiran tentara Inggris dari Andalusia karena dia harus
pergi ke Austria untuk memimpin pasukan dan tidak pernah kembali ke
arena pertempuran di jazirah ini. Karena ketidakhadirannya beserta
marshal terbaiknya (Davout tetap memimpin di timur selama peperangan),
situasi di Spanyol makin memburuk, terutama ketika Jenderal Inggris Sir Arthur Wellesley yang terkenal itu tiba untuk memimpin pasukan.
Tentara Austria menyerbu ke kadipaten Warsawa tetapi mengalami kekalahan pada Pertempuran Radzyn pada tanggal 19 April 1809. Tentara Polandia menduduki Galicia barat menambah daftar kesuksesan mereka.
Kemudian Napoleon memimpin sendiri tentaranya untuk melakukan
serangan balik ke Austria. Setelah melalui beberapa pertempuran kecil,
Austria akhirnya dipaksa mundur dari Bayern, sementara Napoleon terus
bergerak memasuki Austria. Akibat keinginannya untuk segera menyeberangi
sungai Danube mengakibatkan pertempuran besar yang terkenal dengan nama Pertempuran Aspern-Essling (22 Mei 1809) — Kekalahan telak pertama yang diderita Napoleon dari pasukan Austria yang dipimpin oleh Jenderal Archduke Karl. Baru pada awal bulan Juli (5 Juli – 6 Juli), Napoleon berhasil merebut Vienna dengan mengalahkan tentara Austria pada Pertempuran Wagram. (Pada saat berlangsung pertempuran ini, Napoleon mencopot Marsekal Bernadotte
dari jabatannya dan mempermalukan dia di hadapan marsekal senior
lainnya. Segera setelah kejadian ini, Bernadotte menerima tawaran dari
Swedia untuk mengisi posisi sebagai pangeran. Selanjutnya dia secara
aktif berpartisipasi dalam peperangan ini melawan Napoleon.)
Perang koalisi kelima ini berakhir dengan kesepakatan Schönbrunn (14 Oktober 1809). Selanjutnya di timur hanya pemberontak Tyrol-lah yang dipimpin oleh Andreas Hofer yang tetap melanjutkan perlawanan terhadap tentara Perancis-Bayern sampai akhirnya mereka dikalahkan pada bulan November 1809, sementara itu perang di semenanjung eropa barat tetap berlanjut.
Kekaisaran Perancis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1810 dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Sementara itu Inggris dan Portugal tetap menjaga area disekitar Lisbon (di belakang garis depan di Torres Vedras) dan untuk mengepung Cadiz. Napoleon menikah dengan Marie-Louise,
Putri dari Austria, dengan maksud untuk mempererat aliansi dengan
Austria dan memperoleh keturuan untuk menjadi putra mahkota baru. Hal
ini tidak didapatkannya dari istri pertama, Josephine. Sebagai kaisar Perancis, Napoleon mengontrol negara-negara konfederasi Swiss, konfederasi Rhine, kadipaten Warsawa dan kerajaan Italia. Wilayah-wilayah dibawah kekaisaraan Perancis termasuk:
- Kerajaan Spanyol (dibawah pimpinan Joseph Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
- Kerajaan Westphalia (Jerome Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
- Kerajaan Napoli (Joachim Murat, suami dari Caroline, saudara perempuan Napoleon)
- Kerajaan Lucca dan Piombino (saudara perempuan Napoleon Elisa Bonaparte dan suaminya Felice Bacciocchi)
- Bekas musuh Napoleon sebelumnya, Prusia dan Austria.
Invasi ke Rusia, 1812
Seperti yang disebutkan di atas, hasil dari pakta Tilsit tahun 1807 mengakibatkan perang Anglo-Rusia 1807–1812. Tsar Alexander I menyatakan perang kepada Inggris setelah Inggris menyerang Denmark pada bulan September tahun 1807. Banyak pelaut Inggris yang ikut membantu armada laut Swedia selama perang Finlandia dan memperoleh kemenangan atas Rusia di teluk Finlandia pada bulan Juli tahun 1808 dan bulan Agustus tahun 1809, tetapi kemenangan tentara Rusia di daratan memaksa Swedia menandatangani perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1809 dan dengan Perancis pada tahun 1810 juga harus bergabung untuk memblokade Inggris.
Akan tetapi hubungan Perancis dan Rusia menjadi semakin buruk setelah tahun 1810, sementara perang Rusia dan Inggris telah berakhir. Pada bulan April tahun 1812, Rusia, Inggris dan Swedia menandatangani perjanjian rahasia untuk bergabung melawan Napoleon.
Napoleon menginvasi Rusia pada tahun 1812
dengan maksud memaksa kaisar Alexander I tetap mengikuti sistem
kontinental yang diterapkannya dan memperkecil kemungkinan ancaman Rusia
yang akan menginvasi Polandia. Dengan membawa pasukan dalam jumlah
besar yaitu sekitar 650.000 orang (270.000 orang Perancis, sisanya
tentara dari berbagai wilayah lain) pada tanggal 23 Juni 1812
mereka menyeberangi sungai Niemen. Rusia menyatakan ini sebagai perang
patriotik membela negara sementara Napoleon menyatakannya sebagai perang
Polandia kedua. Hal ini tidak seperti harapan rakyat Polandia
(ada sekitar 100.000 tentara Polandia yang bergabung dalam invasi ini)
yakni Napoleon ternyata tidak ingin bernegosiasi dengan Rusia.
Rusia menerapkan strategi membumihanguskan kota sambil mundur teratur.[14][15] Pertempuran hanya terjadi di Borodino pada tanggal 7 September 1812. Pada tanggal 14 September 1812, pasukan Napoleon berhasil masuk kota Moskwa yang sebenarnya sudah ditinggalkan penduduknya dan dibumihanguskan atas perintah gubernur-nya : Pangeran Fyodor Vasilievich Rostopchin.[16][17]
Akhirnya dimulai-lah penarikan pasukan secara besar-besaran dari kota Moskwa
akibat cuaca yang sangat dingin dan juga makin hebatnya serangan Rusia
yang memang memanfaatkan cuaca dingin sebagai senjata. Korban mencapai
sekitar 380.000 jiwa (kebanyakan akibat kelaparan dan kedinginan) dan
100.000 ditawan.[18] Korban jiwa pada pihak Rusia sekitar 210.000 jiwa.[19]
Pada bulan November, sisa dari pasukan besar ini menyeberangi sungai
Berezina dan hanya sekitar 27.000 tentara yang masih dalam kondisi fit. Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan kembali ke Perancis untuk menyiapkan pertahanan di Polandia dari serangan tentara Rusia.
Koalisi keenam, 1812-1814
Melihat adanya kemungkinan untuk mengalahkan Napoleon yang sudah lemah akibat kekalahan besar di Rusia, dengan segera Prusia, Swedia, Austria,
dan beberapa negara kecil di Jerman ikut dalam peperangan lagi.
Napoleon bersumpah dia akan membentuk tentara baru sebesar tentara yang
dia kirimkan ke Rusia,
dan memang dengan secara cepat dia membentuk tentaranya di timur dari
30.000 menjadi 130.000 dan pada akhirnya mencapai 400.000 orang.
Pertempuran-pun segera terjadi di Lützen (2 Mei 1813) dan Bautzen
(20-21 Mei 1813) yang mengakibatkan kerugian besar di pihak koalisi
yaitu sekitar 40 ribu jiwa. Tercatat lebih dari 250.000 tentara yang
terlibat dalam dua pertempuran ini.
Sementara itu pada peperangan di semenanjung Eropa tepatnya di kota Vitoria ( 21 Juni 1813), pasukan Arthur Wellesley
meraih kemenangan atas pasukan Joseph Bonaparte sehingga hancurlah
kekuatan Perancis di Spanyol dan memaksa mereka mundur melewati pegunungan Pyrene.
Kedua belah pihak menyatakan gencatan senjata yang mulai efektif tanggal 4 Juni sampai dengan 13 Agustus 1813. Selama masa damai ini kedua belah pihak berusaha pulih dari kerugian yang dideritanya sejak bulan April yang telah menelan korban jiwa hampir seperempat juta. Pihak koalisi juga berhasil memengaruhi Austria agar berperang melawan Perancis.
Akhirnya dua inti dari pasukan Austria yang berjumlah 300.000 orang
ikut serta dalam koalisi sehingga menambah kekuatan mereka di Jerman.
Total jumlah pasukan koalisi saat itu mencapai 800.000 tentara di garis
depan Jerman, dengan cadangan mencapai 350.000 tentara.
Kesuksesan Napoleon dalam dua pertempuran melawan koalisi keenam di
atas ternyata membawa pengaruh besar pada kekuatan angkatan perangnya
sehingga menjadi sekitar 650.000 tentara — meskipun sebenarnya hanya
250.000 tentara yang langsung dibawah komandonya, sementara lainnya 120
ribu tentara dibawah komando marsekal Nicolas Charles Oudinot dan 30.000 dibawah komando marsekal Davout.
Negara-negara yang bergabung dalam konfederasi Rhine, terutama Saxon
dan Bayern adalah penyumbang tentara terbesar untuk Napoleon. Di
selatan, Kerajaan Napoli dan Kerajaan Italia turut menambah kekuatan
dengan menyediakan sekitar 100.000 tentara. Sementara di Spanyol masih
ada sekitar 150-200 ribuan tentara Perancis meskipun saat itu mereka
sudah dipaksa mundur oleh Inggris dari wilayah tersebut. Jadi ada
sekitar 900.000 tentara Perancis yang tersebar disemua medan pertempuran
berhadapan dengan sekitar 1 juta tentara koalisi (belum termasuk
tentara cadangan di Jerman).
Setelah masa gencatan senjata selesai, tampaknya Napoleon akan meraih
kembali masa kejayaannya setelah meraih kemenangan besar atas tentara
koalisi di Dresden pada bulan Agustus tahun 1813.
Akan tetapi di medan pertempuran lain semua marsekalnya mengalami
kekalahan sehingga kemenangan ini menjadi tidak ada artinya lagi. Pada Pertempuran Leipzig di Saxon (16-19 Oktober 1813) yang juga dikenal dengan nama pertempuran banyak bangsa,
sekitar 190.000 tentara Perancis berhadapan dengan 300.000 tentara
koalisi, yang pada akhirnya memaksa mereka mundur sampai ke kampung
halamannya sendiri, Perancis. Kemudian Napoleon masih memimpin beberapa
pertempuran lagi termasuk pertempuran Arcis-sur-Aube di Perancis sendiri
, akan tetapi karena banyaknya jumlah tentara koalisi yang terlibat
pertempuran membuat mereka kewalahan.
Akhirnya pasukan koalisi memasuki Paris pada tanggal 30 Maret 1814.
Tercatat Napoleon masih memimpin pasukkannya dan mendapat kemenangan
berkali-kali atas pasukan koalisi yang maju terus menuju Paris. Akan
tetapi dia hanya memimpin sekitar 70.000 tentara melawan 500.000 tentara
koalisi, suatu jumlah yang tidak sebanding. Pada tanggal 9 Maret 1814
diadakan perjanjian Chaumont yang menyetujui agar koalisi tetap
dipertahankan sampai pasukan Napoleon dapat dikalahkan seluruhnya.
Napoleon memutuskan tetap bertempur, meskipun dia sudah diambang
kekalahan. Selama masa ini tercatat dia mengeluarkan 900.000 surat
keputusan wajib militer tetapi hanya beberapa saja yang berhasil
dilaksanakan. Akhirnya Napoleon kalah dan turun tahta pada tanggal 6 April 1814, tetapi pasukannya di Italia, Spanyol dan Belanda masih terus melakukan perlawan selama musim semi tahun 1814.
Pihak koalisi memutuskan untuk mengasingkan Napoleon ke pulau Elba,
dan mengembalikan Perancis menjadi kerajaan serta mengangkat Louis
XVIII sebagai raja. Mereka juga mengadakan perjanjian di Fontainebleau (11 April 1814) serta konggres di Vienna untuk menata ulang peta wilayah di Eropa.
Perang Denmark-Inggris, 1807-1814
Selama peperangan era Napoleon, sebenarnya Denmark - Norwegia
menyatakan sebagai negara netral dan hanya mengadakan perdagangan
dengan Perancis. Akan tetapi pihak Inggris yang terus menerus menyerang,
menangkap dan menghancurkan sebagian besar armada laut Denmark pada pertempuran Kopenhagen pertama (2 April 1801)
dan hal ini diulangi lagi pada pertempuran Kopenhagen kedua
(Agustus-September 1807) mengakibatkan Denmark melakukan perang gerilya
terhadap armada Inggris di laut Denmark-Norwegia dengan menggunakan
kapal-kapal kecil yang dilengkapi meriam. Perang ini akhirnya berhenti
setelah Inggris meraih memenangkan pada pertempuran Lyngor pada tahun 1812, yang mengakibatkan kerusakan pada kapal Denmark yang terakhir, yaitu kapal perang Najaden.
Koalisi ketujuh, 1815
Koalisi ketujuh yang terdiri atas Britania Raya, Rusia, Prusia,Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman terbentuk pada tahun 1815 setelah larinya Napoleon dari pulau Elba (tercatat sekitar seratus hari dia kembali mempimpin Perancis). Napoleon mendarat di Cannes pada tanggal 1 Maret 1815. Dalam perjalanannya ke Paris, ia mengumpulkan tentara yang masih setia kepadanya, dan akhirnya menggulingkan raja Louis XVIII.
Pihak koalisi segera mengumpulkan pasukan kembali untuk berhadapan
dengannya. Napoleon berhasil mengumpulkan 280.000 orang, yang ia pecah
menjadi beberapa kesatuan. Untuk menambah kekuatan, Napoleon memanggil
kembali seperempat juta veteran perang serta membuat keputusan untuk
mengadakan kembali wajib militer agar dapat menambah jumlah pasukan
menjadi 2,5 juta tentara yang pada kenyataannya tidak berhasil
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghadapi pasukan koalisi yang
berjumlah sekitar 700.000 tentara.
Dengan membawa 124.000 pasukkannya yang berada di utara, Napoleon melakukan serangan kejutan ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Serangan ini dia lakukan dengan harapan mendorong Inggris mundur ke laut dan memaksa Prusia keluar dari peperangan. Serangan kejutan ini mencapai sukses, memaksa Prusia bertempur di Ligny pada tanggal 16 Juni 1815
dan berhasil mengalahkan mereka sehingga mundur dalam keadaan kacau
balau. Pada hari yang sama tetapi di lain tempat, pasukan sayap kiri
pimpinan marsekal Michel Ney sukses menahan bala bantuan yang akan datang dari tentara Wellington dalam Pertempuran Quatre Bras. Tetapi Ney gagal membersihkan persimpangan jalan Quatre Bras ini sehingga tentara Wellington dapat memperkuat kembali posisinya.
Dengan mundurnya Prusia, pasukan Welington yang tadinya ingin
membantu menjadi mundur juga. Mereka kembali ke posisi semula di tebing
Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo.
Napoleon membawa cadangan pasukannya yang ada di utara, dan bergabung
dengan pasukan Ney untuk mengejar Wellington. Tetapi hal ini dia lakukan
sebelum menginstruksikan kepada marsekal Grouchy untuk memimpin pasukan sayap kanan menahan tentara Prusia yang sudah bersatu kembali.
Grouchy gagal melaksanakan perintah ini, meskipun sebenarnya pasukan
von Thielmann berhasil mengalahkan barisan belakang pasukan Prusia di Pertempuran Wavre pada tanggal 18-19 Juni, sisa pasukan Prusia tetap menuju Waterloo. Napoleon menunda Pertempuran Waterloo beberapa jam di pagi hari pada tanggal 18 Juni
karena belum mengeringnya tanah akibat hujan pada malam sebelumnya.
Ternyata sampai petang hari, pasukan perancis belum mampu menaklukkan
pasukan Wellington. Ketika pasukan Prusia akhirnya datang dan menyerang
sayap kanan Perancis dalam jumlah besar, gagal-lah strategi Napoleon
untuk tetap memecah kekuatan koalisi.
Marsekal Grouchy menebus kesalahannya di atas dengan sukses mengorganisasikan pasukan yang mundur dari kota Paris,
sementara marsekal Davout dengan 117.000 tentaranya berhadapan dengan
116.000 tentara Blucher-Wellington. Secara militer sangat dimungkinkan
Perancis mengalahkan gabungan kedua tentara ini akan tetapi situasi
politik membuktikan bahwa kekaisaran sudah mulai jatuh. Jadi, meskipun
akhirnya Davout sukses mengalahkan kedua gabungan pasukan ini, sekitar
400.000 tentara Rusia dan Austria tetap maju terus dari arah timur tidak terpengaruh akan kekalahan ini.
Ketika tiba di Paris pada hari ketiga sesudah kekalahan di Waterloo, Napoleon
sebenarnya masih berharap timbulnya perlawanan rakyat untuk membela
negara terhadap datangnya pasukan asing yang ingin menguasai Perancis.
Akan tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan karena secara umum rakyat
Perancis menolak. Para politisi memaksa Napoleon untuk turun tahta lagi
pada tanggal 22 Juni 1815.
Meskipun akhirnya kaisar turun tahta, pertempuran sporadis masih terus
berlanjut di sepanjang perbatasan timur dan diluar kota Paris sampai disepakatinya gencatan senjata tanggal 4 Juli. Baru pada tanggal 15 Juli, Napoleon menyerahkan dirinya ke skuadron Inggris di Rochefort yang selanjutnya membuangnya kembali ke pulau Saint Helena, tempat dia akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 1821.
Sementara itu di Italia, Joachim Murat yang masih menjadi Raja Napoli
setelah menyerahnya Napoleon, sekali lagi menunjukkan loyalitas yang
tinggi kepada saudara iparnya itu dengan melancarkan perang Neapolitan
(bulan Maret sampai Mei 1815).
Dia berharap mendapat dukungan para nasionalis yang saat itu sedang
dilanda ketakutan atas berkembangnya pengaruh Habsburg. Tetapi dukungan
yang diharapkannya tidaklah datang, dan akhirnya datanglah pasukan
Austria sehingga pecah pertempuran Tolentino pada tanggal 2-3 Mei 1815 yang memaksanya untuk melarikan diri. Dinasti Bourbon akhirnya kembali menduduki tahta Napoli pada tanggal 20 Mei 1815. Murat dieksekusi di depan regu tembak pada tanggal 13 Oktober 1815.
Pengaruh politik
Peperangan era Napoleon membawa perubahan besar di Eropa. Meskipun hampir semua wilayah di Eropa Barat dibawah kekuasaan Napoleon (prestasi yang hanya bisa dibandingkan dengan kekaisaran Romawi tempo dulu), peperangan antara Perancis dengan kekuatan lain di benua Eropa
selama lebih dari dua dekade akhirnya sampai pada titik penghabisan.
Setelah peperangan era Napoleon berakhir, dominasi Perancis di Eropa
praktis lenyap, dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV.
Inggris akhirnya muncul sebagai negara superpower di dunia
dan tidak dapat dibantah lagi bahwa Angkatan laut Inggris menjadi yang
terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di bidang
ekonomi dan industri.
Hampir di semua negara Eropa, cita-cita dari Revolusi Perancis (seperti demokrasi, hak dan persamaan dalam bidang hukum,
dll.) mulai diadopsi. Hal ini mengakibatkan sulitnya para Raja di Eropa
mengembalikan hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum
yang diterapkan oleh Napoleon. Bahkan hingga hari ini beberapa dari
hukum tersebut masih dipakai, misalnya di banyak negara Eropa hukum
sipil-nya jelas-jelas mengadopsi kode Napoleon.
Faham nasionalisme
yang relatif baru saat itu dengan cepat berkembang di Eropa dan
nantinya banyak memengaruhi jalannya sejarah disana, mulai dari
berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara. Peta politik di
Eropa berubah drastis setelah era Napoleon, tidak lagi berbasis
aristrokat atau monarki mutlak tetapi berdasarkan kerakyatan.
Era Napoleon telah menyebarkan benih bagi berdirinya negara Jerman dan
Italia dengan bergabungnya negara-negara bagian kecil dan juga kerajaan.
Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walaupun dia sendiri gagal mewujudkannya) adalah harapannya untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini digulirkan lagi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ide ini kini sudah diwujudkan dengan adanya mata uang tunggal Uni Eropa, Euro.
Warisan militer
Peperangan era Napoleon juga memberikan perubahan yang sangat besar
di dunia militer. Sebelum era Napoleon, negara-negara di Eropa biasanya
memiliki tentara dalam jumlah sedikit dan itupun banyak diisi oleh
tentara bayaran - kadangkala mereka bertempur melawan negara asalnya
sendiri. Inovasi militer yang timbul dalam era Napoleon yaitu mulai dikenalnya kekuatan rakyat yaitu jika seluruh rakyat ikut berperang.
Napoleon mempraktekkan inovasi-nya seperti yang dipertunjukkan pada pertempuran Austerlitz
tahun 1805. Dengan taktik yang brilian untuk menghadapi musuh yang
berjumlah lebih besar, ia memerintahkan pasukannya untuk senantiasa
berpindah posisi secara cepat dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tentara Perancis juga memperbaiki aturan main untuk divisi artileri
mereka, menjadi kesatuan terpisah dan dapat bergerak cepat. Hal ini
mengubah tradisi sebelumnya, yaitu tradisi artileri hanya digunakan
sebagai alat untuk mendukung suatu pasukan. Napoleon juga membuat
standardisasi ukuran bola-bola meriam agar mudah dibawa dan bisa dipakai disemua jenis artileri.
Dengan populasi jiwa terbesar keempat didunia saat itu, yaitu sekitar
27 juta jiwa (seperti juga Inggris yang berjumlah 12 juta jiwa dan
Rusia sekitar 30 sampai 40 juta jiwa), Napoleon dapat mengambil
keuntungan dari diberlakukannya wajib militer. Banyak pengamat militer
saat ini yang salah persepsi dengan menyatakan bahwa ide wajib militer
ini sudah berkembang sejak revolusi Perancis bukan dari Napoleon. Memang
tidak semua inovasi militer dari era Napoleon. Adalah Lazare Carnot yang memberi sumbangan besar dalam menata ulang tentara Perancis dari tahun 1793 sampai dengan tahun 1794.
Besarnya jumlah pasukan yang terlibat telah mengubah dunia militer
saat itu. Sebelum era Napoleon, pada saat perang 7 tahun (1756-1763),
hanya sedikit yang terlibat, paling banyak 200 ribu orang saja.
Bandingkan dengan Perancis pada tahun 1790-an, telah memperbanyak jumlah
personel-nya menjadi 1,5 juta jiwa. Dan total sekitar 2,8 juta personel
yang bertempur di daratan dan 150 ribu di laut, sehingga jumlah
keseluruhan tentara yang terlibat menjadi hampir 3 juta personel.
Inggris memiliki 747.670 tentara antara tahun 1792 sampai dengan
1815. Ditambah lagi dengan seperempat juta personel di laut. Pada bulan
September 1812, Rusia memiliki sekitar 904 ribu tentara yang terdaftar,
dan antara tahun 1799 sampai dengan 1815 memiliki total 2,1 juta
personel, kemungkinan sekitar 400 ribu bergabung antara tahun 1792
sampai dengan 1799. Sedangkan dilaut, Rusia memiliki 200 ribu tentara
sejak tahun 1792 hingga 1815.
Austria memiliki 576 ribu tentara dan hanya sedikit atau tidak
memiliki kekuatan dilautan. Mereka memberikan perlawanan terus-menerus
kepada Perancis sehingga kemungkinan besar tentara yang terlibat bisa
mencapai 1 juta sampai berakhirnya perang. Prusia hanya mempunyai 320
ribu tentara saja selama perang ini, sedangkan Spanyol sekitar 300 ribu
ditambah beberapa unit pasukan yang bergerilya.
Amerika Serikat mengirim 286.730 personel, sedangkan konfederasi Maratha, Kesultanan Utsmaniyah,
Italia, Napoli dan Duchy of Warsawa menyumbang lebih dari 100 ribu
personel. Bahkan setelah perang berakhir, banyak negara-negara kecil
yang memiliki pasukan berkekuatan besar juga.
Tetapi harap diperhatikan pula bahwa data jumlah tentara yang
disebutkan tadi berasal dari sumber militer resmi dan sering pada
kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dikarenakan banyaknya tentara
yang desersi, penipuan oleh komandan lapangan yang menyetor daftar
prajurit yang dilebih-lebihkan untuk mengambil keuntungan dari gaji yang
diberikan pemerintah kepada unitnya, kematian, dan di beberapa negara
bahkan terang-terangan berbohong untuk memenuhi jumlah tentara yang
ditargetkan.
Bangkitnya Revolusi Industri
sendiri pada tahap awal banyak dipengaruhi oleh besarnya jumlah pasukan
militer. Karena hal ini menjadikan banyak pabrik yang harus memproduksi
senjata dan peralatan militer lainnya dalam jumlah besar. Inggris
merupakan produsen peralatan perang yang terbesar selama konflik ini,
mereka mengirimkan sebagian besar senjata ini kepada sekutu-sekutunya
(dan hanya memakainya sedikit). Sebaliknya Perancis yang juga menjadi
produsen peralatan perang nomor dua terbesar, memproduksinya untuk
memperlengkapi pasukannya sendiri dan juga sekutu-sekutunya.
Warisan untuk dunia militer lainnya adalah digunakannya semaphore oleh Perancis untuk saling berkomunikasi antara Menteri Perang, Carnot,
dengan pasukan di perbatasan selama tahun 1790-an. Dan Perancis tetap
mempergunakan sistem ini sampai peperangan era Napoleon berakhir. Dan
perlu ditambahkan pula bahwa pada konflik inilah pertama kali Perancis
menggunakan balon
udara untuk memantau posisi musuh pada pertempuran Fleurus, 26 Juni
1794, juga digunakannya roket serta meriam yang telah disempurnakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar